Pesta adat tersebut tampaknya ada kemiripan polanya dengan tradisi – adat Jawa. Dalam tradisi Jawa, juga dikenal upacara selamatan yang disertai pesta seperti: puputan (hari kelahiran), potong rambut pertama, tedhak bhumi (anak mulai menginjakkan tanah), sunatan, perkawinan, sedekah bhumi, potong padi, dan lain-lain (Koentjoroningrat, 1980: 341).
Menurut adat lembaga over huwelijks en erfrecht in Benkoelen 1910-1911, yaitu adat lembaga yang mengatur tentang hukum perkawinan dan hukum waris, bimbang merupakan salah satu rangkaian upacara dalam proses perkawinan pada masyarakat Bengkulu. Sebelum pelaksanaan upacara perkawinan, ada proses upacara yang mendahuluinya, yaitu upacara memadu rasan (pertunangan).
Pengertian bimbang itu sendiri telah diatur dalam adat lembaga yang isinya sebagai berikut:
Adapoen jang dinamai bimbang jaitoe keramaian jang diperboeat akan kehormatan kawin (Adatrechtbundel: XI, 1915:310).
Bimbang juga digolongkan menjadi dua, yaitu bimbang gedang (pesta adat perkawinan yang biasanya dilakukan oleh lapisan masyarakat atas atau golongan elite pribumi), dan bimbang kecil, yaitu pesta adat perkawinan rakyat kebanyakan (St. Kdeir, 1870: II).
Bimbang adat Melayu ini pada umumnya berkembang di wilayah atau tempat-tempat yang terbuka sebagai jalur perdagangan — terutama pasar —-yang memudahkan masuknya para pedagang Melayu yang berniaga di pasar-pasar tersebut, yang kemudian terjadi proses asimilasi, akulturasi budaya, kolonisasi, dan pada akhirnya masuklah pengaruh tradisi budaya Melayu (Abdullah Siddik, 1980:269).
http://agussetiyanto.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar